Musim kemarau sebentar lagi tiba. Namun hujan masih sering menjenguk untuk sekedar menyapa. Mengajakku bermain di telaga kehidupan yang sedang kujalani. Membawa ke lorong-lorong waktu. Sampai harus berinteraksi dengannya. Lama tak jumpa membuatku merindu. Sesekali ku kabari lewat perantara. Ku dengar suara lirih terputus-putus, lalu hilang entah kemana. Mungkin sinyalnya lagi tak bersahabat. Kucoba menghubungi beberapa kali. “nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif”. Begitulah kabar terakhir yang kudengar. Yah sudahlah,,, kuharap baik-baik di sana!
Tidak ada nada atau suara yang keluar dari mulutku setelah itu, selain memandang dinding tembok di dalam kamar berukuran sempit. Itu pun sendirian. Kadang selalu terlintas dalam benaku kenapa harus melewati pilihan jalan seperti ini?
Sebuah ponsel yang ku genggam kusimpan kembali di atas meja sambil menunggu kabar selanjutnya. Sementara masih banyak yang ingin kusampaikan. Rasanya ingin bercerita banyak hal tentang keberadaanku di tempat ini. Tentang hari-hari yang kujalani. Tentang tugas-tugas serta pekerjaanku, sekaligus ingin meminta solusi padamu.
Nyatanya aku tak punya keberanian untuk menceritakan semuanya. terlalu malu jika keluh kesah ini kusampaikan. Engkau yang lebih sibuk, lebih banyak mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran demi aku, bahkan kau telah berusaha sekeras-kerasnya untuk memenuhi kebutuhanku, menyekolahkan anakmu sejak Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Tidak ada keluh kesah yang pernah kau tunjukan. Yang terihat hanyalah senyum kecerian. Entah aku tak mengetahui, atau engkau menyembunyikannya. Yang terpenting “engkau harus sekolah dulu nak masalah rezeki dan keberhasilanmu tergantung usahamu”. Katanya.
Masih ingat dulu ketika usiaku masih anak-anak. Neneku sering menceritakan kisah silam tentang ibu. Selama tiga tahun sekolah di SPG, ia hanya dibekali Rp. 50.000 saja. Itu pun harus cukup dalam waktu sebulan. Tidak terbayang uang sebanyak itu. Mana cukup untuk beli makan, biaya kontrakan, tugas-tugas sekolah, belum lagi untuk keperluan pribadi. Namun ibu tetap tegar meski harus menelan pahitnya perjuangan. Hanya ada satu alasan yang membuat ia tetap bertahan. Semangatnya membara meski cucuran keringat dan air mata selalu hadir di saat ada kebutuhan mendesak. Ia sadar, bahwa hidup di perantauan harus tetap bertahan bukan untuk mencari jalan pulang, melainkan harus bertahan untuk melewati setiap rintangan yang datang.
Ia memilih sekolah di SPG karena keinginannya sendiri untuk menjadi seorang guru. Baginya seorang guru merupakan panggilan jiwa untuk mengambdikan diri menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Seorang guru memiliki tugas yang sangat mulia. Memang SPG diperuntukan bagi mereka yang ingin menjadi guru. Ibuku tinggal di salah satu kontrakan yang ada di Cibiru Bandung bersama tiga orang temannya.
Kata nenek, “sekolah bukan untuk gaya-gayaan tapi sekolah untuk mendidik diri supaya berpikir, anu keyeung tangtu pareng”. Sengaja tidak terlalu banyak memberikan uang saku supaya bisa mengatur keuangan dan untuk kepentingan yang sekiranya mendesak. Untuk makan cukup bawa beras dari rumah. Jadi selama di sana ibuku tidak terlalu banyak jajan.
Hidup di masa itu memang tidak semudah sekarang. Keterbatasan akan sarana dan prasarana selalu menjadi masalah utama. Apalagi tinggal di desa yang jauh dari perkotaan. Ia harus menempuh puluhan kolo meter untuk berangkat ke Cibiru. Belum lagi harus berjalan kaki, melewati bebatuan terjal, kadang jika musim hujan tiba sering terjadi longsor. Waktu itu jalan di pedesaan belum dibangun. Kendaraan masih terbatas. Bersambung……..