Arti Kata Suling
Dalam bahasa Dwipantara (Indonesia kuno)
SU LA HYANG adalah “ketentuan dari para pemimpin yang benar atau “ketentuan
yang memimpin pada kebenaran". Setelah terjadi evolusi bahasa yang
berlangsung selama ratusan tahun maka berubah menjadi SU LING dengan demikian
kata SULING telah berubah makna menjadi “Eling sangkan bener" (mawas diri
demi kebenaran) SU = Benar ; LING = Kependekan kata dari LA HYANG yang artinya
LA = Ketentuan, sedangkan HYANG = Pemimpin .
Bentuk Suling
Pada dasarnya suling merupakan perumpamaan, penggambaran dari
sosok manusia Dwipantara yang menggunakan ikat kepala.
Filosofi Suling
"Mahluk Manusia" bagi bangsa Dwipantara adalah sosok yang mempunyai “enam lubang kehidupan”
(hirup – hurip) yaitu : mata, hidung, mulut, telinga, alat kelamin serta anus.
Ke enam lubang tersebut tidak
ada yang buruk. Semua Lubang adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dan
harus diatur oleh disiplin kehidupan (adab). Manusia harus tahu kapan waktu membuka
dan kapan waktunya menutup, kapan waktunya memasukkan dan kapan waktu membuang.
Semua diatur oleh nilai – nilai beradab yang tidak boleh dilanggar demi
mencapai “Hirup nu Huri” (Bahagia, Tentram dan Damai ) itulah pengertian atas “ Manusia Beradab” bagi bangsa dwipantara.
Kandungan Nilai – Nilai Permainan Suling
Mirip bahkan serupa dengan konsep “Keris
manjing Sarangka” atau “Ngaraga Sukma” yaitu berpadunya jari tangan kiri – kanan ; atas – bawah, tidak ada lengan
baik atau lengan buruk, yang ada adalah kesatuan memanunggalnya kiri dan kanan
di dalam hirup (tarikan napas, hidup). Pengaturan Napas (masuk dan buang)
merupakan konsep penataan hidup, disiplin, mawas diri dan sadar atas keterikatan
diri (hirup) dan renghap (napas). Maka ketika kanan-kiri berpasangan memainkan
irama kehidupan lahirlah suatu gelombang suara penuh perhitungan dan perasaan dan merupakan konsep harmoni
yang serupa dengan tata keseimbangan alam, jiwa dan raga, langit dan bumi, air
dan api, baik dan buruk. Tiga jari tangan kanan-kiri yang mengatur nada pada lubang suling merupakan
symbol Trisula (3 ketentuan yang benar). Dahulu “Suling” harus
dimainkan dengan menggunakan Trisula yang penuh perasaan dan perhitungan agar
mampu mencapai kemanunggalan Upasaka Panca niti:
1. Niti Harti (tahap mengerti)
2. Niti Surti (tahap memahami)
3. Niti Bukti (tahap membuktikan)
4. Niti Bakti (tahap membaktikan)
5. Niti Jati (tahap kesejatian, manunggal dengan Allah)
2. Niti Surti (tahap memahami)
3. Niti Bukti (tahap membuktikan)
4. Niti Bakti (tahap membaktikan)
5. Niti Jati (tahap kesejatian, manunggal dengan Allah)
Setelah mendapatkan Pusaka Panca niti
manusia akan terbebas dari keduniawian “mulang ka asal mulih ka jati” yang
artinya bukan hanya kematian, melainkan menjadi dewa-sa (bersatu dengan cahaya.
Pulang kepada asal muasalnya diri dan kembali kepada Jati dirinya, inilah yang
disebut Mawas Diri, tahu diri rasa – rumasa (Rasa =
manunggal Cahaya, Rumasa = manunggal cahaya ibu / Pertiwi ).
Jadi pada intinya dalam suling
tersebut terdapat beberapa nilai-nilai kemanusiaan yang harus kita ketahui
bahwa dalam suling menggambarkan sesosok manusia yang mempunyai ikat kepala dan
mempunyai enam lubang kehidupan
(hirup – hurip) yaitu: mata, hidung, mulut, telinga, alat kelamin serta anus.
Keenam lubang tersebut tidak
ada yang buruk. Semua lubang adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dan semua lubang harus diatur oleh
disiplin kehidupan (adab). Manusia harus tahu kapan waktu membuka dan kapan waktunya menutup, kapan waktunya memasukkan dan kapan waktu membuang. Semua diatur oleh nilai – nilai beradab yang tidak boleh dilanggar demi mencapai “Hirup nu Hurip “ (Bahagia, Tentram dan Damai).
disiplin kehidupan (adab). Manusia harus tahu kapan waktu membuka dan kapan waktunya menutup, kapan waktunya memasukkan dan kapan waktu membuang. Semua diatur oleh nilai – nilai beradab yang tidak boleh dilanggar demi mencapai “Hirup nu Hurip “ (Bahagia, Tentram dan Damai).